Jumat, 17 April 2009

TIGA DARI PANDAWA LIMA


Raden Arjuna/Janaka/Dananjaya/Permadi


Raden Werkudara/Bima/Arya Sena

Raden Puntadewa/Prabu Yudhistira

RASA RUMANGSA MAU ANA




Saibå bêciké samangså wóng kang lagi kasinungan kabêgjan lan nampå kabungahan iku tansah élíng gêdhé ngucap syukúr marang Kang Pêparíng. Awít élinga yèn tumindak kåyå mangkono mau kêjåbå biså ngilangi watak jubriyå uga mlêtikaké råså rumångså yèn wóng dilairaké marang sapådhå-padhané titah, mbêngkas kasangsaran, munggahé ngrêkså hayuníng jagad.

NGELMU KYAI PETRUK




Kuncung ireng pancal putih
Swarga durung weruh
Neraka durung wanuh
Mung donya sing aku weruh
Uripku aja nganti duwe mungsuh.

Ribang bumi ribang nyawa
Ana beja ana cilaka
Ana urip ana mati.
Precil mijet wohing ranti
Seneng mesti susah
Susah mesti seneng
Aja seneng nek duwe
Aja susah nek ora duwe.

Senenge saklentheng susahe sarendheng
Susah jebule seneng
Seneng jebule susah
Sugih durung karuan seneng
Ora duwe durung karuan susah
Susah seneng ora bisa disawang
Bisane mung dirasakake dhewe.

Kapiran kapirun sapi ora nuntun
Urip aja mung nenuwun
Yen sapimu masuk angin tambanana
Jamune ulekan lombok, bawang
uyah lan kecap
Wetenge wedhakana parutan jahe
Urip kudu nyambut gawe

Pipi ngempong bokong
Iki dhapur sampurnaning wong
Yen ngelak ngombea
Yen ngelih mangana
Yen kesel ngasoa
Yen ngantuk turua.

Pipi padha pipi
Bokong padha bokong
Pipi dudu bokong.
Onde-onde jemblem bakwan
Urip iku pindha wong njajan
Kabeh ora bisa dipangan
Miliha sing bisa kepangan
Mula elinga dhandhanggulane jajan:

Pipis kopyor sanggupira lunga ngaji
Le ngaji nyang be jadah
Gedang goreng iku rewange
Kepethuk si alu-alu
Nunggang dangglem nyengkelit lopis
Utusane tuwan jenang
Arso mbedhah ing mendhut
Rame nggennya bandayudha
Silih ungkih tan ana ngalah sawiji
Patinira kecucuran

Ki Daruna Ni Daruni
Wis ya, aku bali menyang Giri
Aku iki Kyai Petruk ratuning Merapi
Lho ratu kok kadi pak tani?

OJO TURU SORE KAKI


Ojo turu sore kaki 
Ono dewo nganlang jagad
Nyangking bokor kencanan ne
Isi ne dungo tetulak, sandang kalawan pangan
Yoiku bagian ne nipun
Wong melek, sabar, narimo

Ono tulising Hyang Widi
Yen wong sabar kan narimo
Kinodrat dowo umur e
Sugih kadang pawong mitro, kinacek ing sasomo
Yen kujur o wong iku
Gampang ngone antuk tombo

Petilasan Blambangan, Riwayatmu Kini


Kerajaan Blambangan adalah cikal bakal munculnya Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kebesaran daerah di ujung timur pulau Jawa ini identik dengan keemasan masa kerajaan Majapahit. Sayangnya, sejumlah petilasan yang membuktikan kebesaran Blambangan sudah musnah. Hanya beberapa yang tersisa. Itu pun kondisinya cukup memprihatinkan.
Tidak ada sumber otentik terkait kerajaan Blambangan. Bahkan hampir seluruh budayawan Using Banyuwangi menyangsikan adanya kerajaan ini. Sejumlah tokoh di dalamnya pun dianggap fiktif atau sekedar cerita fiksi. Namun, bagi komunitas Jawa, Blambangan diyakini benar-benar ada. Termasuk raja dan serangkaian tokoh di dalamnya. Selain didasarkan petilasan yang tersisa, suku Jawa cukup kental mengagungkan kebesaran raja-raja di zaman Blambangan.
Menilik cerita sejarah, Blambangan ada sejak tahun 700 - 1400 masehi. Kurangnya bukti prasasti membuat kehadiran kerajaan ini hanya sebuah cerita rakyat. Bahkan silsilah keturunan bangsawannya pun sama sekali tidak ada. Alhasil, tidak ada satu pun penyebutan pasti waktu pemerintahan masing-masing raja.
Dari hikayat yang berkembang, ada lima raja yang pernah memerintah Blambangan. Raja pertama adalah Siung Manoro yang datang dari Kediri, Jawa Timur. Tokoh ini pertama kali masuk ke Alas Purwo dan tinggal di rumah penguasanya, mbah Dewi Roro Upas. Tidak disebutkan pasti sampai kapan pemerintahan Siung Manoro dan hubungannya dengan ratu Alas Purwo tersebut.
Raja kedua, Kebo Mancuet, putra seorang bangsawan dari Klungkung,Bali. Disebutkan, tokoh ini memiliki sepasang tanduk. Karena keanehan inilah, dia dibuang orang tuanya ke Alas Purwo. Di tempat ini, dia dirawat seorang rsi sakti, Ki Ajah Pamengger yang juga kakek Minak Jinggo atau Joko Umbaran, salah satu raja Blambangan.
Selanjutnya Blambangan dipegang Joko Umbaran, pemuda sakti asal daerah Grati, Pasuruan, Jawa Timur. Kala itu, kerajaan Majapahit dipimpin seorang ratu, Kencono Wungu yang cantik jelita. Naiknya Joko Umbaran menjadi raja diawali sayembara Ratu Kencono Wungu. Ratu cukup repot dengan kehadiran adipati Blambangan Kebo Mancuet yang mulai merongrong Majapahit.
Akhirnya disayembarakan, barang siapa mampu membunuh Kebo Mancuet akan diberikan tanah Blambangan dan dijadikan suami Kencono Wungu. Singkat cerita, Joko Umbaran berhasil membunuhnya. Dia menang setelah dibantu seorang pemanjat kelapa, Dayun. Kemenangan itu harus dibayar mahal. Wajah Joko Umbaran rusak dan kakinya pincang.
Kemudian Joko Umbaran dinobatkan menjadi raja Blambangan bergelar Minak Jinggo atau Uru Bismo. Dalam hikayat suku Jawa, Minak Jinggo digambarkan seorang raja yang jahat. Dia memiliki senjata besi kuning yang sakti dan memiliki dua istri, Wahito dan Puyengan. Dua permaisuri ini konon berasal dari Bali.
Karena kesaktiannya inilah Minak Jinggo menjadi raja paling ditakuti. Bahkan kekuasannya terus meluas hingga Probolinggo,Jawa Timur. Kondisi ini menjadi ancaman bagi Ratu Kencono Wungu. Apalagi, Minak Jinggo mulai menagih janji untuk bisa dinikahi sesuai bunyi sayembara.
Dalam kondisi tegang, Ratu Kencono Wungu memerintahkan seorang pemuda sakti, Damarwulan untuk menumpas Minak Jinggo. Usaha ini berhasil. Minak Jinggo terbunuh dan kepalanya dipenggal. Kisah perjuangan Damarwulan ini hingga sekarang menjadi cerita sejarah paling pupuler bagi komunitas warga Banyuwangi. Saking populernya, warga membuatnya menjadi sebuah kesenian Damarwulan yang dikenal dengan janger.
Tidak ada sumber pasti kisah Damarwulan ini. Bahkan Budayawan Banyuwangi sering menyebut hadirnya Damarwulan hanya simbol cerita yang mengandung beribu pilosofi. Dikisahkan setelah berhasil membunuh Minak Jinggo, Damarwulan dinikahi Ratu Kenconowungu dan menjadi raja Majapahit.
Setelah Minak Jinggo, Blambangan dipimpin adipati Siung Laut yang asli warga Blambangan. Dia memiliki seorang putri cantik, Dewi Sedah Merah. Putri ini rencananya diinikahkan dengan patihnya, Joto Suro. Namun gagal. Sang putri memilih kabur ke Mataram (Jawa Tengah) bersama kekasihnya, pangeran Julang. Kemudian, Siung Laut hijrah ke Bali bersama permaisurinya dan bergerlar Jaya Prana dan Layang Sari.
Raja terakhir Blambangan adalah Joto Suro. Setelah diangkat menjadi raja, Joto Suro kembali ingin mendapatkan Dewi Sedah Merah. Dengan kekuatan pasukannya, Joto Suro menyerang Mataram. Usahanya berhasil. Sedah Merah diboyong ke Blambangan. Sedangkan suaminya, Pangeran Julang memilih kabur. Meski menjadi tawanan, Dewi Sedah Merah menolak dinikahi. Dia memilih mati dengan bunuh diri. Selama menjadi raja, Joto Suro mengangkat patih Ario Bendung.
Ario Bendung kemudian ditipu agar menyerang Mataram. Padahal itu hanyalah akal-akalan Joto Suro untuk menikahi istri Ario Bendung. Namun gagal, istri Ario Bendung menolak,lalu dibunuh Joto Suro. Mendengar istrinya tewas, Ario Bendung mengamuk di Blambangan. Termasuk membunuh Joto Suro dan seluruh rakyat Blambangan. Tanpa sebab yang jelas, Ari Bendung akhirnya bunuh diri dan tewas di Mataram. Kepergian Ario Bendung ke Mataram bertepatan munculnya banjir lahar yang melanda Blambangan. Saat itu penduduk Blambangan hanya tinggal 10 orang. Lima bertahan di Blambangan, sisanya memilih pindah ke Mataram. Konon, sejak itu Blambangan menjadi hutan belantara. Seluruh bekas kerajaan yang ditinggalkan hancur tertimbun lahar.
Kisah sejarah Blambangan versi Jawa tersebut dimentahkan seluruh budayawan Banyuwangi. Minimnya bukti di lapangan makin menguatkan pernyataan itu. Sampai kini, Blambangan tetap diyakini baru muncul sekitar tahun 1700. Yakni, selama kepemimpinan Prabu Tawang Alun dengan kerajaannya di Desa Macanputih,Kabat,Banyuwangi.
Tawang Alun diyakini keturunan bangsawan Majapahit dari Jember,Jawa Timur. Kemudian mendirikan kerajaan Macan Putih sebagai ibu kota Blambangan. Sebelum menetap di Macan putih, Tawang alun memindahkan pusat pemerintahannya sebanyak tiga kali. Pertama di daerah Lateng,Rogojampi,lalu ke Bayu,Songgon dan terakhir di Macan Putih, Kabat.
Keturunan Tawang Alun, Rempeg Jogopati yang berperang puputan melawan Belanda juga diyakini masih memiliki ikatan darah dengan keraton Mengwi, Badung. Dari sinilah nama Banyuwangi muncul setelah menghilangnya Blambangan. “ Bukti sejarah Blambangan memang sangat minim. Apalagi tidak ada satu pun prasasti yang menyebutkannya. Kami hanya menganalisa dari berbagai sumber yang otentik,” kata budayawan Banyuwangi, Hasan Ali.
Keyakinan ini didasarkan pada berbagai bukti catatan sejarah. Konon, dari buku-buku sejarah yang ada di perpustakaan Leiden, Belanda, nama Blambangan hanya disebut sejak pemerintahan Tawangalun. Nama Blambangan sendiri pun juga simpang siur. Ada yang menyebut cikal bakalnya adalah tirto arum. Ada juga dari kesusastraan kerajaan Kediri menyebut Blambangan dengan Balamboangan. Artinya, daerah subur penghasil padi terbesar selama pemerintahan Majapahit. Bukti ini bisa dikaitkan dengan julukan Banyuwangi saat ini yang dikenal dengan lumbung padi nasional.
Penetepan hari jadi Banyuwangi 18 Desember 1771 juga didasarkan pada sejarah perjuangan Tawangalun dan keturunannya melawan penjajah Belanda. Banyaknya bukti sejarah bekas kerajaan Blambangan yang tersisa kata Hasan Ali tidak ada kaitannya dengan hikayat Damarwulan, Minak Jinggo dan Blambangan.
Diperkirakan beberapa situs sejarah Blambangan yang diyakini peninggalan Minak Jinggo justru bekas istana dari kerajaan Tawang alun. “ Pernah ada penelitian tentang itu. Tapi hasilnya nihil, tidak ditemukan ada bukti yang mengaitkan dengan zaman Blambangan,” tegas pendiri Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Banyuwangi ini. Berdasar bukti itulah Blambangan tetap diyakini tidak penrah ada dan hanyalah sebuah hikayat.


Sabtu, 21 Maret 2009

BUDI PEKERTI


Råmå Sudi Yatmånå ngandaraké bab Budi Pêkêrti kanthi gamblang. Kåyå padatan, Råmå Sudi miwiti andarané nganggo piranti morfologi lan étimologi. Asalé têmbúng budi såkå båså sansêkêrta budh síng têgêsé: nglilír, tangi, gumrégah, sadhar ing babagan kajiwan. Sabanjuré têmbúng pêkêrti síng nduwèni têgês: tumindak, tumandang, makaryå, makarti ing babagan karagan. Pêkêrti ånå sambúng rakêté karo tindak-tandúk jiwå lån rågå, lair lan batin. Budi pêkêrti biså dipilah, nangíng ora biså dipisah. Gêgandhèngan karo bab iku, ånå têtêmbungan síng sinêbút mono dualistik. Bab loro síng biså dipilah nangíng ora bisa dipisah. Ånå ing kawrúh métapisika sinêbút the law of two, paugêran loro síng tansah ånå. Lahír pasangané batín, ålå pasangané bêcík, salah-bênêr, padhang-pêtêng, luhúr-asór lan sapituruté. Mulå ånå budi lan pêkêrti síng biså dipilah dadi luhúr-asór, utama-nistha, ålå-bêcík lan liyå liyané. Budi lan pêkêrti síng ålå prayogå di singkiri, nangíng budi lan pêkêrti síng bêcík prayogå diudi lan dicakaké ing bêbrayan. Råmå Sudi ugå nyitír tulisané Edi Sêdyawati síng nyêbútaké ciri-ciri budi pêkêrti luhúr síng cacahé 56. Kayåtå srêgêp nyambút gawé, nduwèni tanggúng jawab, disiplin, iman mantêp, andhap asór, pikirané mênêp, pikirané jêmbar, prasåjå, gumrêgút, kónstrúktif, tansah muji syukúr lan liyå-liyané. Sabanjuré ugå nyêbút watak síng nduwèni nilai-nilai luhúr ing bêbrayan Amérika lan Inggrís, yakuwi jujúr, wani, rukún, unggúl pribadiné, disiplin, sêtyå, urmat, trêsnå, tanggap, andhap asór lan adíl.Lêlandhêsan Kónfêrènsi Budi Pêkêrti ing Jakarta 26-28 Óktóbêr 2000 ånå rékomèndasi síng sambúng karo cak-cakané budi pêkêrti, yakuwi liwat pêlatihan lan pakulinan, patuladhan lan srawúng kang lugas. Ki Hajar Déwantårå ugå mratélakaké mênåwå cak-cakané budi pêkêrti luhúr disêbútaké ånå ing tataran dhiri pribadi, kulåwargå, bêbrayan, sêsåmå lan bångså. Gêgandhèngan karo andarané Råmå Sudi kasêbút, ånå bab-bab wigati síng pêrlu dijingglêngi. Budi pêkêrti luhúr ora bisa pisah karo étika, utawa kawrúh bab ålå-bêcík. Franz Magnis Susénó ana ing buku “Etika Dasar”, jlèntrèhaké kanthi kómplít ngênani étika síng ånå sambúng rakêté karo ajaran moral. Étika lan ajaran moral dadi sarånå síng nuntún såpå waé supåyå bisa uríp síng bênêr, wicaksånå, sampúrna, éndah lan sapituruté. Kanggo mujúdaké kahanan iki pêrlu paugêran, norma, kaidah, tåtåkråmå, tåtåsusilå, tåtåcårå, étikèt lan sapituruté, síng kudu diugêmi lan ditaati. Budi pêkêrti luhúr orå biså pisah karo sumbêr utåwå tuk-é étika lan ajaran moral, yakuwi ånå ing agåmå-agåmå Hindu, Budhå, Kristên, Islam, Khóng Hu Cu, aliran Kêpêrcayaan, Kêbatinan lan mistisismê. Akèh bangêt piwulang utåwå ajaran agåmå síng nuntún supåyå biså urip apík, nêmu bagyå lan mulyå ing ndonya lan akhérat. Ånå ing filsafat Taoism uga akèh ngêmót kaidah utåwå ajaran moral síng nudúhaké dalan kêbajikan, kautaman, kawicaksanan lan kaluhúran. Ajaran åpådéné nilai-nilai ètis lan moral uga tinêmu ing sêni sastra, sêni tari, sêni rupa, musik, dongèng, têmbang lan sapituruté. Ajaran ètik lan moral uga tinêmu ing jagad pêwayangan. Dr Hazim Amir MA ånå ing buku “Nilai-nilai Ètis dalam Wayang” ngandaraké kanthi gamblang lan komplít nilai-nilai ètis kasêbút. Ånå ing pêwayangan akèh bangêt bab síng biså dadi sarånå kanggo pêndidikan watak. Pagêlaran wayang síng nduwèni unsúr-unsúr kaéndahan, yåkuwi sêni sastra, widya (filsafat lan ilmu), péntas, karawitan lan sêni ríptå (kréativitas), biså dadi salah sijiníng sarånå pêndidikan budi pêkêrti. Lumantar pagêlaran wayang, biså dadi altêrnatif métodê pêndidikan watak síng cócók. Amargå, tuntunan lan wulangan ing pêwayangan ora nduwèni sifat dóktrinèr, biså ditóntón, dirungókaké lan dirasakaké. Lakón-lakón wayang síng sumbêré såkå kêkawin Mahabarata lan Ramayana, nduwèni nilai-nilai síng éndah, unik lan adi luhúng. Parågå utawa tókóh-tókóh ing pêwayangan síng nduwèni watak bêcík, bisa dadi conto lan tulådhå. Wêwatón sumbêr-sumbêr ajaran étika lan moral síng akèh bangêt mau, budi pêkêrti luhúr bisa di udi, dikulinaké lan dingrêmbakakaké. Pêndidikan budi pêkêrti ånå ing bêbrayan síng lagi nandhang krisis múlti dimènsi prayogå dipilah lan ditåtå. Pêndidikan budi pêkêrti (luhúr) dadi babagan síng wigati amargå nduwèni nilai-nilai síng éndah lan adi (luhúng) kanggo mbangún watak bångså (nation and character building).

PUSPA WARNA


01. Jagad Jåwå Akèh bangêt têmbúng utåwå têtêmbúngan síng biså digandhèngaké karo têmbúng Jåwå. Têmbúng wóng digandhèngaké karo têmbúng Jåwå dadi wóng Jåwå, têmbúng manungså digandhèngaké karo têmbúng Jåwå dadi manungså Jåwå, têmbúng kulåwargå dadi kulåwargå Jåwå, têmbúng budåyå dadi budåyå Jåwå, têmbúng jagad dadi jagad Jåwå. Istilah jagad Jåwå pancèn cêdhak karo istilah budåyå Jåwå. Ånå síng ngarani lan nggêrbå mênåwå jagad Jåwå kuwi mêngku budåyå Jåwå. Jagad Jåwå luwíh jêmbar têbané tinimbang budåyå Jåwå. Bab budåyå mliginé budåyå Jåwå ugå jêmbar têbané. Ruang lingkúp lan kabèh kang kacakúp akèh bangêt. Prof Dr Koentjaraningrat ånå ing bukuné síng sêsirah Kêbudayaan Jawa njlèntrèhaké kanthi komplít bab kabudayan Jåwå. Kabudayan Jåwå ora bisa pisah karo wóng Jåwå, síng ånå ing pulo Jåwå wiwít såkå dumadiné têkan jaman saiki. Panjênêngané ngrujúk tulisané Th Pigeaud, BJO Schrieke lan WF Wertheim ngênani “variasi régional” kabudayan Jåwå. “Variasi régional” duwé têgês síng mèh pådhå karo bab tlatah, lingkungan, wilayah utåwå kawasan budåyå. Lingkungan budåyå Jåwå nyakúp ranah lan tlatah, yåkuwi: Bantên, Sundhå, Pêsisír Kulón, Banyumasan, Bagêlèn, Pêsisír Wétan, Nêgari Gúng (Suråkartå lan Ngayogyåkartå), Måncånêgari, Mêdurå lan Sabrang Wétan). Kêjåbå variasi régional kasêbút, Prof Dr Koentjaraningrat ugå njlèntrèhaké pérangan síng diarani kabudayan univêrsal (cultural univêrsals). Cacahé ånå pitu yåkuwi babagan: båså, sistêm tèknologi, sistêm panguripan utåwå ékonomi, organisasi sosial, sistêm pêngêtahuan, réligi lan kêsênian. Wêwatón bab-bab iku tinêmu mênåwå kabudayan Jåwå iku isiné, wujudé, pérangané, siji lan sijiné ora pådhå, tinêmu rupå-rupå lan manéka warnå síng jumbúh karo “sub kultur”-é utåwå wilayahé. Nyinau, naliti utåwå njingglêngi bab jagad Jåwå lan kabudayan Jåwå, bisa lan prayogå nganggo pratélan cacah pitu utåwå variasi régional mau. Ana ing babagan båså lan sastrå ånå síng diarani Sundhå, Jåwå lan Mêdurå. Isiné wêrnå-wêrnå ora múng bab dialèk, nanging kabèh síng kacakúp ånå ing båså lan sastrå Jåwå síng nglingkúpi tlatah Bantên, Pasundhan, Banyumasan, Pêsisiran, Suråkartan, Ngayogyåkartan, Sêmarangan, Jawa Timuran, Mêduran lan liya-liyané. Ing babagan sastrå ånå sastrå síng tinulis utåwå sastrå síng ora tinulís. Têbå lan isiné akèh bangêt kayåtå babad, riwayat, caritå gancaran, caritå cêkak, carita ginurit, saloka, novèl, ésèi, aksårå Jåwå (hå nå cå rå kå då tå så wå lå på dhå jå yå nyå må gå bå tå ngå) lan spituruté síng ånå lan tinêmu ing pulo Jåwå. Gêgandhèngan karo bab iki, Råmå Sudi Yatmånå ånå ing andaran Mbah Sétrå mènèhi tulådhå síng akèh bangêt. Kajåbå bab båså lan sastrå, kabudayan Jåwå ngêmót, mêngku, mêngkoni lan nyakúp ilmu (ngèlmu) Jåwå, kayåtå filsafat Jåwå, ngèlmu sangkan paraníng dumadi, kêbatinan (ngèlmu kêjawèn), ngèlmu patitisíng pati, ngèlmukasampurnan, kawaskithan, kalantipan, ngèlmu mistík utåwå tasawuf, kajiwan (ngèlmu jiwå), kanuragan, ngèlmu karang, guna kasantikan, pawukón, pétúng, pasatuwan, katuranggan, palintangan (horoscope), ramalan (jångkå), pralambang, ngèlmu kalang, ngèlmu wêwangunan (arsitèktúr), lan liyå-liyané síng cacahé akèh bangêt. Bab ngèlmu Jåwå akèh síng ditulis ånå ing kapustakan Jåwå (kuno, têngahan, anyar), naskah-naskah, manuskrip, primbón-primbón, wulangan, wêjangan, wêdharan, andaran, pitutúr, pêpali, sulúk, kidungan, têmbang (gêdhé,cilík) lan liyå-liyané. Ånå síng ditulís nangíng ugå ånå síng ora tinulís arupå tradisi lisan. Wulangan, ngèlmu lan “laku” Jåwå mênåwå dipilah-pilah, dipilíh-pilíh, dipånthå-pånthå lan digånthå-gånthå, diothak-athík (dadi gathúk), dinalar lan dianalisís nganggo cårå (métodê, tèknik) sing “ilmiyah”, biså awujúd blêgêríng ngèlmu Jåwå utåwå “the body of Javaness sciences”. Såkå kabèh ilmu, ngèlmu utåwå pangawikan mau bisa ditimba sakèhíng bab, “asèt” utåwå “hartå-kåyå” kabudayan Jåwå síng cacahé, gunggungé, têbané jêmbar lan ngédab-édabi. Saupåmå banyu utåwå tirtå (bêníng, wêníng) kang ånå ing sumúr yèn ditimbå ora bakal êntèk, yå babagan kalahiran yå babagan kajiwan, yå lahiriyah yå batiniyah. Akèh síng lungíd, rumít, ngrawít, éndah, édi lan adi (luhúr, luhúng). Ånå ing babagan tèknologi, rékådåyå rékåyåså akèh tinêmu ånå ing ngèlmu kalang lan ngèlmu arsitèktúr Jåwå. Mulå ånå wangunan rupå Karatón lan lingkungané síng ngêmót akèhíng pérangan síng nduwèni lambang lan filosofi síng dhuwúr. Ånå síng diarani Alún-alún, Waringín (kurúng), Pagêlaran, Sitihinggil, Panggúng Sånggå Buwånå, pérangan Bangsal, lawang utawa Kori (Mangu, Gapít, Kêmandhungan, Srimanganti, Bråjånålå lan sapituruté), Gêdhóng, utåwå Dalêm Agêng lan satêrusé nganti têkan plataran Alún-alún sisíh kidúl. Wêwangunan síng ciri-ciriné khas Jåwå uga tinêmu ing njåbå Karatón pérangan lan jinisé akèh bangêt. Kabudayan Jåwå uga akèh ngêmót babagan sistêm ékonomi. Wulangan Jåwå ånå ing ékonomi mliginé ing bêbakulan lan dêdagangan luwíh nêngênaké bêbrayan, sêsrawungan, kêkancan, pasêduluran lan liyå-liyané, mula ånå têtêmbungan tuna satak bathi sanak. Ånå ing babagan sêni lan budåyå manungså Jåwå nduwèni pérangan sêni cacahé akèh bangêt, nglimputi sêni swårå: karawitan, gamêlan, géróngan, gêndhíng, lêlagón, sêndhón lêlangên swårå, sulúk, têmbang, måcåpat, musik lan instrumèn Jåwå liyané. Ånå ing babagan tari ånå tari bêdåyå, srimpi, bêksan, lênggót båwå, gambyóng, wayang wóng, bambangan cakíl, wirèng lan tari pêthilan, kêthoprak, srandhúl, ludrúk lan liyå-liyané. Babagan sêni rupå tinêmu akèh bangêt ing candhi-candhi Båråbudhúr, Prambanan, Plaósan, Sèwu, Bókó, Pênataran, Bajang Ratu lan liyå-liyané ånå síng rupå kålå makårå, pradhaksinå, rêcå, patúng lan sapituruté. Pérangan sêni ugå akèh tinêmu ing pêwayangan lan pêdhalangan. Akèh bangêt lambang lan wulangan ånå ing pêwayangan lan pêdhalangan. Bab-bab síng magêpókan karo sêni, akèh bangêt paédah lan manfaaté, kayåtå: nguripaké bab råså kaéndahan, ngalusaké tingkah laku lan kapribadhèn, nyurúng kréasilan aprésiasi, biså mujúdaké kahanan síng timbang antarané intêlèktual (rasio) lan émosi. Durúng paédah lan manfaat síng arupå lêlagón, hiburan, tuntunan lan tóntónan sing ngrêsêpaké ati. Sêni budåyå Jåwå bisa nuwúhaké råså lan jiwå Jåwå, jatidhiri, kapribadhèn síng nduwèni ciri unik lan khas. Ånå ing Jagad Jåwå lan kabudayan Jåwå digêlar akèhing babagan kang rupå-rupå lan manékå warnå. Jagad Jåwå ngêmót éwóníng bab ånå ing jagadé manungså Jåwå síng uríp ånå ing tlatah Jåwå. Déníng : Ki Sutadi Pangarsa Pêrsatuan Pêdalangan Indonesia Komisariat Jawa Têngah.

PITUDUH


itudúh : # 1 Pangéran Kang Måhå Kuwåså (Gusti Allah, Tuhan) iku siji, angliputi ing ngêndi papan, langgêng, síng nganakaké jagad iki saisiné, dadi sêsêmbahan wóng saalam donyå kabèh, panêmbahan nganggo carané dhéwé-dhéwé. Pitudúh : # 2 Pangéran Kang Måhå Kuwåså iku anglimput ånå ing ngêndi papan, anèng sira ugå ånå Pangéran (maksudé : tajaliné Kang Múrbèng Dumadi). Pitudúh : # 3 Pangéran iki Måhå Kuwåså, pêpêsthèn såkå karsaning Pangéran ora ånå síng biså murúngaké. Pitudúh : # 4 Pangéran iku nitahaké sirå lantaran båpå lan biyúngirå, mulå kudu sirå ngurmati marang båpå lan biyúngirå. Pitudúh : # 5 Ing donyå iki ånå róng warnå síng diarani bêbênêr, yakuwi bênêr mungguhíng Pangéran lan bênêr såkå kang lagi kuwåså. Pitudúh : # 6 Kêtêmu Gusti (Pangéran) iku lamún sira tansah élíng. Pitudúh : # 7 Cåkrå manggilingan (uríp iku ibaraté rodhå kang tansah mubêng). Pitudúh : # 8 Åjå sirå wani-wani ngaku Pangéran, sênadyan kawrúhira wís tumêka "Ngadêg Sarirå Tunggal" utåwå bisa mêngêrtèni "Manunggaling Kawulå Gusti". Pitudúh : # 9 Åjå ndisiki kêrså. Wêwalêr : # 10 Åjå sirå wani marang wóng tuwanira, jalaran sirå bakal kênå bêndhu såkå Kang Múrbèng Dumadi. Wêwalêr : # 11 Åjå múng kèlingan lan migatèkaké barang kang katón baé, sêbab kang katón gumêlar iki anané malah ora langgêng. Wêwalêr : # 12 Åjå darbé pangirå yèn lêlêmbút iku mêsthi alané, jalaran síng apik iyå ånå, síng ålå iyå ånå, ora bédå karo manungså. Wêwalêr : # 13 Åjå lali sabên ari (dinå) éling marang Pangéranira, jalaran sêjatiné sirå iku tansah katunggón Pangéranirå.
Pitudúh : # 14 Kahanan donyå iku ora langgêng, mulå åjå ngêgungaké kasugihan lan drajadira, awít samångså wolak-walikíng jaman ora kisinan. Pitudúh : # 15 Kahanan kang ånå iki ora suwé mêsthi ngalami owah gingsír, mulå åjå lali marang sapådhå-padhaníng tumitah. Pitudúh : # 16 Síng såpå sênêng ngrusak katêntrêmaníng liyan bakal dibêndhu déning Pangéran lan diwêlèhaké déning tumindaké dhéwé. Pitudúh : # 17 Watakíng manungså iku kêpingín kuwåså, nangíng Pangéran iku bakal maríngaké panguwåså miturút kêrsané Pangéran pribadi. Pitudúh : # 18 Janmå iku tan kênå kinåyå ngåpå, mulå sirå åjå sênêng ngaku lan rumangsa pintêr dhéwé. Pitudúh : # 19 Ramé ing gawé sêpi ing pamrih, mêmayu hayuníng bawånå. Pitudúh : # 20 Manungså sadêrmå nglakóni, kadyå wayang saupamané. Pitudúh : # 21 Mulat sarirå, tansah élíng lan waspådå. Pitudúh : # 22 Sabêgjå-bêgjané kang lali, luwih bêgjå kang élíng klawan waspådå. Pitudúh : # 23 Síng såpå salah sèlèh, lan mélík nggéndhóng lali. Pitudúh : # 24 Nglurúg tanpå bålå, sugíh ora nyimpên, sêkti tånpå maguru, lan mênang tanpå ngasóraké. Pitudúh : # 25 Yèn sirå dibêciki liyan tulisên ing watu supåyå ora ilang lan tansah kèlingan, yèn sirå gawé kabêcikan marang liyan tulisên ing lêmah, supåyå énggal ilang lan ora kèlingan. Pitudúh : # 26 Síng sênêng gawé nêlangsané liyan iku ing têmbé bakal kênå piwalês såkå panggawéné dhéwé. Pitudúh : # 27 Lamún sirå múng sênêng dialêm baé, ing têmbé kêtêmu bab-bab kang kurang prayogå. Pitudúh : # 28 Wani ngalah luhúr wêkasané. Wêwalêr : # 29 Åjå sênêng gawé rusakíng liyan, jalaran sirå bakal kênå siku dhêndhaning Guru Sêjatinirå. Wêwalêr : # 30 Åjå sira nyacad piyandêling liyan, jalaran durúng mêsthi yèn piyandêlirå iku síng bênêr dhéwé. Wêwalêr : # 31 Åjå lali marang kêbêcikan liyan. Wêwalêr : # 32 Åjå sirå dêgsurå, ngaku luwíh pintêr tinimbang séjéné. Wêwalêr : # 33 Åjå rumangsa bênêr dhéwé, jalaran ing donya iki ora ånå síng bênêr dhéwé. Wêwalêr : # 34 Åjå wêdi kangèlan, jalaran uríp anèng donyå iku pancèn angèl. Wêwalêr : # 35 Åjå gawé sêrík atining liyan lan åjå golèk mungsúh. Wêwalêr : # 36 Åjå sirå mulang gêthing marang liyan, jalaran iku bakal nandúr cêcongkrahan kang ora ånå uwis-uwisé. Wêwalêr : # 37 Åjå ngumbar håwå napsu lan åjå mélík darbèkíng liyan, mundhak sêngsårå uripé.

Jumat, 06 Februari 2009

AKU SENENG DINO IKI

WUS ANTARA 2 DINA IKI
AKU NOMPO KABAHAGYAN

WUJUDTE ORA KENA KANETRA
UGA ORA KENA KARABA
HANANGING AMUNG BISA KARASA

WUJUDTE NGONO
BANGET ENDAH, UGA BANGET NYANGSEMKE


OPO TO YO IKI SENG DIARANI TRESNA???????????????



AKU ORA NGERTI!!



KALA AKU BINGUNG DEWE

NANGING KABEH MAU DAK SYUKURI
MINANGKA BERKAH GUSTI

Senin, 02 Februari 2009

GANDRUNG BANYUWANGI


Gandrung Banyuwangi berasal dari kata “gandrung”, yang berarti ‘tergila-gila’ atau ‘cinta habis-habisan’ dalam bahasa Jawa. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti ketuk tilu di Jawa Barat, tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, lengger di wilayah Banyumas dan joged bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan).
Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.
Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).

SEJARAH SINGKAT DINASTI MATARAM ISLAM


Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia yang bersifat maritim, kerajaan Mataram bersifat agraris. Kerajaan yang beribu kota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan keluarga raja maupun pada golomngan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai dengan perebutan tahta dan perselisihan antaranggota keluarga yang sering dicampuri oleh Belanda. Kebijaksanaan politik pendahulunya sering tidak diteruskan oleh pengganti-penggantinya. Walaupun demikian, kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam.
Banyak versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.
Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senapati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601.
Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senapati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.
Senapati digantikan oleh putranya, Mas Jolang, yang bertahta tahun 1601-1613. Maas Jolang lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak. Pada masa pemerintahannya, dibangun taman Danalaya di sebelah barat kraton. Panembahan Seda Krapyak hanya memerintah selama 12 tahun Ia meninggal ketika sedang berburu di Hutan Krapyak.
Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia pun merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur.
Di samping dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upayanya antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas serta subur. Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing merupakan karya Sultan Agung yang lainnya.
Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 dengan meninggalkan Mataram dalam keadaan yang kokoh, aman, dan makmur. Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengasn banyak pembunuhan/kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta.
Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat.
Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.
Oleh karena Kraton Kerta telah rusak, ia memindahkan kratonnya ke Kartasura (1681). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC. Dalam masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger (adik Amangkurat II yang kelak dinobatkan menjadi Paku Buwana I oleh para pengikutnya). Namun karena tuntutan VOC kepadanya untuk membayar ganti rugi biaya dalam perang Trunajaya, Mataram lantas mengalami kesulitan keuangan. Dalam kesulitan itu ia berusaha ingkar kepada VOC dengan cara mendukung Surapati yang menjadi musuh dan buron VOC.
Hubungan Amangkurat II dengan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak setelah Amangkurat II mangkat (1703) dan digantikan oleh putranya, Sunan Mas (Amangkurat III). Ia juga menentang VOC. Pihak VOC yang mengetahui rasa permusuhan yang ditunjukkan raja baru tersebut, maka VOC tidak setuju dengan penobatannya. Pihak VOC lantas mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara atau dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan ia dibuang ke Sailan oleh VOC. Namun Paku Buwana I harus membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian timur kepada VOC.
Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan digantikan oleh Amangkurat IV (1719-1727) atau dikenal dengan sebutan Sunan Prabu , dalam pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dan seperti biasa VOC turut andil pada konflik ini, sehinggga konflik membesar dan terjadilah Perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). VOC berpihak pada Sunan Prabu sehingga para pemberontak berhasil ditaklukkan dan dibuang VOC ke Sri Langka dan Afrika Selatan.
Sunan Prabu meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC. Paku Buwana II memihak China dan turut membantu memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC. Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Panaraga. Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744).
Hubungan manis Paku Buwana II dengan VOC menyebabkan rasa tidak suka golongan bangsawan. Dengan dipimpin Raden Mas Said terjadilah pemberontakan terhadap raja. Paku Buwana II menugaskan adiknya, Pangeran Mangkubumi, untuk mengenyahkan kaum pemberontak dengan janji akan memberikan hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Usaha Mangkubumi berhasil. Tetapi Paku Buwana II mengingkari janjinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas Said dan melakukan pemberontakan bersama-sama. Mulailah terjadi Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755).
Paku Buwana II dan VOC tak mampu menghadapi 2 bangsawan yang didukung rakyat tersebut, bahkan akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan wafat (1749). Namun menurut pengakuan Hogendorf, Wakil VOC Semarang saat sakratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Sejak saat itulah VOC merasa berdaulat atas Mataram. Atas inisiatif VOC, putra mahkota dinobatkan menjadi Paku Buwana III (1749).
Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai.
Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III.
Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III.

Senin, 26 Januari 2009

Rasa Pangrasa


Lamun sira pada mangerti
Apa kang diarani tresna..?
Aja nggumampangake pangertene
Mungguhing rasa pangrasa
Bisa dadi memala marang pribadi

Lamun sira pada mangerti
Wujudte mono ora bisa kanetra
Ora bisa karaba
Lan ora gampang nggoleki
Marga wujudte cahya kang suci

Lamun sira pada mangerti
Katresnan mau mung bisa digaleh
Mung bisa dimanah
Jroning nendra kang utama
Mangka iku sing diarana bisa ngerti

Lamun sira pada mangerti
Kabeh mau kuwasane gusti
Ndadekake rasa pangrasa kang beda
Minangka pratanda lamun gusti
Maha welas lan asih


Byar padhang
10 Pebruari 2008

TUNJUNGKU


Nalika rasa iki wus caked
Pangrasaku kaya jinojoh jroning anteb
Sliramu among lingsem batin kang semu
Kaya rasa kang wus kebacut cuwa

Nalika kapangku wus anteb
Nalika iku banget aku bingung
Yen diarani karsa nanging ora bujana
Diarani sirep datan bisa nendra

Nalika tresnaku wus semu
Sliramu nyaked kaya tan uwal
Myat kaget galihku karasa
Rasamu wus nyawiji siji

Nalika batinku dadi cuwa
Tamba kang satuhu mung esemu
Sepet madu lire
Angganda arum tunjung biru



4 Pebruari 2008